Tentang Taman Bungkul Surabaya

Makam Mbah Bungkul berada di Jalan Progo dan tikungan Jalan Raya Darmo. Menurut GH Von Faber, Komplek pemakaman Bungkul itu sudah ada sejak zaman Hindu. Gapura makam dan pagarnya menunjukkan gaya arsitektur Hindu Jawa pada zaman Majapahit. Di tempat itu juga terdapat tempat pemujaan yang sangat dikeramatkan. Abu jenasah para prajurit Kertanegara yang tewas dalam peperangan pada tahun 1270, juga diletakkan di tempat itu. Sekitar tahun 1930 an. Makam-makam itu sudah ada jauh sebelum agama Islam masuk ke Tanah Jawa.
Taman Bungkul adalah salah satu ruang terbuka hijau dan artefak cagar budaya. Keberadaan Taman Bungkul yang dikelilingi pepohonan rindang dan rerumputan yang menghijau di tengah kota, memiliki manfaat besar, baik bagi lingkungan alam maupun lingkungan sosial di sekitarnya. Ruang terbuka hijau (RTH) adalah paru-paru kota yang bisa mereduksi polusi udara dan menjadi peresapan air hujan.

Sejak jaman kolonial Belanda, keberadaan Taman Bungkul dipertahankan pemerintah kota. Lokasi Taman Bungkul yang berada di tengah kompleks perumahan warga Belanda bisa dimaknakan sebagai penghormatan para perencana tata kota kala itu terhadap keberadaannya. Kemewahan kawasan Darmo Boulevard tidak sampai menggusur makam dan Taman Bungkul, bahkan lahan hijau itu dinamai Boengkoel Park.

Dari pertimbangan aspek kesejarahan Taman Bungkul, awalnya taman ini terbangun karena keberadaan makam tokoh sejarah seperti Ratu Kamboja, Ratu Campa, Tumenggung Jayengrono, dan Ki Ageng Supo atau Empu Supo. Tokoh terakhir adalah tokoh masyarakat/agama pada masa kerajaan Majapahit (abad XV), yang juga mertua Raden Rahmat atau Su-nan Ampel (Kompas, 27/4/ 2002). Berkat hubungan baiknya dengan Ki Supo, upaya Sunan Ampel menyebarkan agama Islam menjadi lebih sukses. Ki Supo mendapat gelar Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul. Boleh jadi Mbah Bungkul dapat dikategorikan sebagai wali lokal, suatu konsep sejarawan UGM Sartono Kartodirdjo untuk menyebut tokoh Islamisasi tingkat lokal. Keberadaan dia sejajar dengan Syeh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Geseng (Magelang), Sunan Tembayat (Klaten), Ki Ageng Gribig (Klaten), Sunan Panggung (Tegal), Sunan Prapen (Gresik), dan wali lokal yang lain.

Persis disebelah barat makam, terdapat sebidang lahan terbuka yang biasa digunakan untuk berbagai acara masyarakat Surabaya, seperti olah raga, kesenian, kampanye dan lain-lain. Hiruk-pikuk di sekitar lingkungan Makam Mbah Bungkul diwarnai oleh para pedagang makanan dan minuman. Pohon-pohon besar yang rindang mampu mensuplai oksigen bagi warga kota serta menciptakan suasana teduh disekitar kawasan.
Oleh karena itu, Taman Bungkul diharapkan akan dibangun menjadi taman kota yang ideal. Dimana siapa saja dengan bebas dapat menikmati suasana teduh dan nyaman tanpa ada bangunan permanen. Hanya ada rumput hijau yang segar dimana kita dapat duduk ditemani burung merpati yang beterbangan dan suara kicau berbagai jenis burung.


Sumber Artikel : Wisatajatim.com Untuk Informasi Umum

0 komentar to “ Tentang Taman Bungkul Surabaya ”

Posting Komentar